Isu mengenai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto kembali memicu kritikan dan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia, terutama dari mereka yang menganut prinsip kebebasan pers dan demokrasi. Kepemimpinan Soeharto selama lebih dari tiga dekade tentu menyimpan berbagai catatan, termasuk terkait ketatnya kontrol terhadap media massa. Meski beberapa pihak menganggap bahwa Soeharto memiliki kontribusi besar dalam pembangunan negara, usaha untuk menempatkannya sebagai pahlawan nasional dapat menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan.
Sejarah Bredel dan Kontrol Media
Soeharto dikenal dengan kebijakannya yang ketat dalam mengendalikan media massa, yang dikenal dengan istilah ‘bredel’. Pada masa Orde Baru, banyak media mengalami pembredelan atau penutupan jika dianggap mengancam stabilitas pemerintah. Kebijakan ini mengakibatkan media menjadi alat kontrol, menyebarkan propaganda yang menguntungkan rezim, dan mengekang suara-suara kritis. Keadaan ini menciptakan lanskap media yang homogen dan kurangnya ruang untuk opini berbeda, sehingga menghambat perkembangan jurnalisme investigatif dan mengurangi daya kritis masyarakat.
Dampak Negatif bagi Demokrasi
Pemberian gelar pahlawan kepada seorang mantan pemimpin otoriter dapat mengaburkan memori kolektif tentang pelanggaran kebebasan yang dilakukan di masa lalu. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi karena bisa saja diartikan sebagai legitimasi terhadap kontrol berlebihan ala Orde Baru. Demokrasi yang sehat ditopang oleh kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi yang benar, dan pemberian gelar ini bisa saja mengikis pencapaian dari nilai-nilai tersebut yang telah dibangun dengan susah payah sejak masa reformasi.
Pandangan dari Perspektif Jurnalis
Dari perspektif jurnalis, usulan ini bisa memicu kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, terutama di kalangan mereka yang menyadari pentingnya independencia media. Keberanian dan integritas jurnalis dapat tergerus jika simbol rezim yang pernah membatasi profesi ini diangkat sebagai tokoh pahlawan. Keputusan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai pesan bahwa kontrol dan pembatasan terhadap media dapat dibenarkan.
Perjuangan Kebebasan Pers
Sejak reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam hal kebebasan pers. Berbagai regulasi telah diperbaiki untuk melindungi kebebasan berbicara dan melindungi hak-hak para jurnalis. Kebebasan ini adalah hasil perjuangan panjang yang melibatkan banyak individu dan kelompok yang berani melawan penindasan. Mengabaikan sejarah kelam ini dan mengangkat ikon yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tersebut menjadi ancaman nyata terhadap keberlanjutan kemerdekaan berekspresi di Indonesia.
Kritik dan Perdebatan
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto terus memicu perdebatan sengit antara kelompok pro dan kontra. Kelompok yang mendukung mengklaim bahwa pencapaian pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi adalah alasan kuat untuk mengakui jasa Soeharto, namun kebutuhan untuk merenungkan kebijakan politik dan dampaknya terhadap kebebasan tetap harus diutamakan. Kritikus berpendapat bahwa tanpa pengakuan terhadap pelanggaran yang terjadi, pengangkatan ini bisa menjadi preseden buruk bagi generasi mendatang.
Kesimpulan: Menjaga Nilai Kebebasan
Kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan demokrasi harus senantiasa dipertahankan. Sejarah menunjukkan bahwa kontrol media hanya berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk senantiasa mengingat pelajaran dari masa lalu dan menjaga kebebasan yang ada. Pemberian gelar pahlawan nasional seharusnya mempertimbangkan seluruh aspek kehidupan seorang figur publik, termasuk implikasi kebijakan yang pernah diterapkannya terhadap masyarakat luas. Kita harus membangun masa depan yang lebih terbuka dan demokratis, yang menjunjung tinggi kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi kita.






